TEPATKAH UCAPAN, “IMAN ITU LETAKNYA DI HATI”?

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بِسْــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Saudaraku....!
Hari ini Selasa 20 Muharam 1447 H /15 Juli 2025
Setelah Sholat Subuh sambil menunggu waktu pagi untuk beraktivitas, mari Kita NGOPI (Ngobrol Perkara Iman), Ungkapkan rasa Syukur Kita atas segala Nikmat yang Allah berikan, dengan memanfaatkan untuk memperbanyak Dzikir dan Sholawat sambil menikmati Santapan Rohani.
Tulisan ini hanya sekedar berbagi atau sharing dan tidak bermaksud Menggurui, bukan berarti yang menulis lebih baik dari yang menerima atau membaca. Namun demikian saya mengajak pada diri saya pribadi dan Saudara-saudaraku Seiman, untuk sama-sama belajar dalam Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Mohon ridho dan ikhlasnya, bila dalam penulisannya ada yang terlupakan tolong ditambahkan dan bila ada yang salah tolong dibetulkan.
Hadirin yang dirahmati Allah....
“Iman itu di hati,
yang penting hatinya bersih.”
“Tidak
apa-apa dia tidak berjilbab, yang penting hatinya suci.”
“Tidak
masalah jarang salat, asalkan sopan dan baik kepada sesama.”
Ungkapan-ungkapan
semacam ini kerap muncul ketika ada kekeliruan atau kekurangan dalam aspek
lahiriah ibadah, lalu dibenarkan dengan alasan kebersihan hati. Namun, benarkah
hal tersebut dalam pandangan Islam?
Penggunaan
istilah “iman itu di hati” terdapat dua jenis, penggunaan dari
aspek akidah dan penggunaan dalam aspek sehari-hari.
Penggunaan
dalam aspek akidah
Dalam
pembahasan keimanan, para ulama bersepakat bahwa keimanan terealisasi bila
terdapat tiga aspek: mengucapkan dengan lisan, meyakini dengan hati, dan
merealisasikan dengan perbuatan. Artinya, seseorang dikatakan beriman bila
terdapat tiga hal tersebut. Namun, saat Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu wafat,
mulailah muncul kelompok-kelompok yang menyimpang dalam akidah, salah satunya
kelompok Murji’ah. Orang yang mengikuti akidah Murji’ah menganggap bahwa iman
itu cukup ucapan lisan dan keyakinan hati saja, sedangkan melakukan amal bukan
bagian dari iman. Bagi mereka, ketaatan dan kemaksiatan tidak akan berpengaruh
terhadap kadar iman seseorang, sehingga iman pelaku dosa besar sama kuatnya
dengan iman orang saleh. [1]
Ini
adalah akidah yang bertentangan dengan akidah ahli sunnah wal jama‘ah. Para
ulama dahulu dan kontemporer telah panjang lebar menjelaskan kekeliruan akidah
tersebut beserta dalil-dalilnya.
Penggunaan
dalam aspek sehari-hari
Penggunaan
istilah ini tidak berkaitan langsung dengan penyimpangan akidah sebagaimana
yang dijelaskan sebelumnya. Namun, ia lebih menekankan pentingnya amalan hati
yang terangkum dalam tiga poin berikut:
Pertama: Pentingnya memperhatikan aspek batin dan
amalan hati.
Kedua: Tidak cukup hanya dengan amalan
lahiriah. Seseorang bisa tampak baik secara luar, tetapi hatinya menyimpan
keburukan.
Ketiga: Penampilan luar tidak selalu
mencerminkan kondisi batin. Orang yang terlihat buruk secara lahiriah bisa jadi
memiliki hati yang lebih bersih dari yang kita sangka.
Secara
umum, poin-poin ini benar dan tidak menimbulkan permasalahan. Sebab, amalan
hati memang merupakan hal yang sangat penting dalam Islam. Mengingatkan sesama
agar senantiasa menjaga kebersihan hati, merasa diawasi oleh Allah, serta
menjauhkan diri dari riya (pamer amal saleh), merupakan
hal-hal penting untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Ta‘ala.
Demikian
pula, menilai seseorang seharusnya tidak semata-mata dari penampilan luar,
karena watak asli seseorang bisa jadi berbeda dari apa yang tampak. Oleh karena
itu, penekanan pada aspek batin seperti dalam poin-poin di atas adalah hal yang
sah dan tepat.
Lantas,
kapan ucapan ini menjadi keliru?
Ucapan “iman
itu di hati” dan semisalnya menjadi keliru ketika diucapkan pada
konteks yang tidak tepat. Dampaknya, ucapan tersebut dapat mengendurkan
motivasi untuk melakukan amalan lahiriah dan meremehkan dosa.
Sebagai
contoh, jika ada orang yang berhijrah secara penampilan, misalnya seorang
perempuan mulai mengenakan jilbab atau cadar, lalu terdengar komentar seperti,
“Iman itu di hati, bukan di pakaian”; maka dalam konteks ini, justru
ucapan itu dapat mengendurkan semangat orang yang hendak menjalankan ibadah
lahiriah.
Atau
ketika ada seseorang yang mulai merutinkan salat lima waktu dan salat malam,
lalu ada berkomentar, “Yang penting ‘kan hatinya baik.” Tentu, bila
orang tersebut belum kokoh imannya, akan merasa terkejut dengan ucapan tersebut
yang berpotensi malah mengurungkan niatnya untuk merutinkan salat fardu dan
tahajud.
Dilontarkannya
ucapan tersebut dalam konteks ini juga dapat menjadi indikasi bahwa pengucap
beranggapan bahwa jilbab tidak ada efeknya terhadap keimanan. Menurutnya,
ketaatan lahiriah tidak berpengaruh terhadap ketaatan batin. Hal ini tentu
keliru dan bertentangan dengan firman Allah Ta‘ala yang
menjelaskan bahwa hijab itu akan memberi pengaruh terhadap kesucian hati,
وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَسْـَٔلُوْهُنَّ
مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ ذٰلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّۗ
“Apabila
kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah
dari belakang hijab. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka.” (QS. Al-Ahzab:
53)
Pengaruh
berhijab terhadap kesucian hati bukan berarti bahwa setiap orang yang berhijab
otomatis hatinya suci. Bukan pula setiap orang yang tidak berhijab maka
kesucian hati dan ketulusan niatnya ternodai. Akan tetapi, hijab adalah salah
satu wasilah yang Allah perintahkan untuk menjaga kesucian lahiriah. Dengan
menjaga lahiriah, batin pun lebih mungkin untuk turut terjaga.
Analogi
yang sama juga bisa diterapkan dalam hal lain. Misalnya, merokok berpengaruh
buruk terhadap kesehatan. Hal ini bukan berarti setiap perokok kesehatannya
lebih bagus dari non-perokok. Bukan pula setiap non-perokok bebas dari penyakit
yang biasa menimpa perokok. Tetapi yang jelas, secara medis, merokok
berkorelasi erat dengan penurunan kesehatan.
Lahir
dan batin itu tidak terpisahkan
Kesalahpahaman
muncul karena menganggap kondisi lahir dan batin terpisah, padahal keduanya
saling mempengaruhi. Batin yang baik akan menghasilkan lahir yang baik; dan
lahir yang baik akan menambah batin menjadi lebih baik. Sebagaimana yang
diucapkan oleh Hasan Al-Basri rahimahullah,
ليس الإيمان بالتحلي ولا بالتمني، ولكنه ما
وقر في القلوب وصدقته الأعمال
“Bukanlah
keimanan itu dengan memperindah diri dan angan-angan semata. Akan tetapi, iman
adalah apa yang terpatri di hati dan dibenarkan oleh perbuatan.” [2]
Ketaatan
tidak hitam-putih, tapi menyeluruh
Ilustrasi
perbandingan di atas akan terlihat sebagai perbandingan yang tak masuk akal
ketika kita memahami bahwa kadar iman dan takwa seseorang itu tidak dibangun di
atas satu jenis ketaatan atau meninggalkan kemaksiatan tertentu saja. Akan
tetapi, kadar ketakwaan dinilai dari akumulasi seluruh ketaatan dan
kemaksiatan.
Maka,
ketika kita mengajak orang lain untuk berhijab, itu bukan karena anggapan
perempuan berhijab baik dari semua aspek, tetapi perempuan yang berhijab lebih
baik pada ketaatannya dalam berhijab. Sama halnya dengan salat berjemaah: orang
yang ke masjid belum tentu lebih baik dalam segala hal, tapi dia lebih taat
dalam urusan salat berjemaah.
Dengan
demikian, menilai kebaikan, kesalehan, dan kesucian hati seseorang harus
didasari dari keseluruhan aspek kehidupan. Semakin banyak aspek kehidupan
seseorang yang sesuai dengan ajaran Islam secara lahir dan batin, maka semakin
baik ketakwaan dan kesalehannya.
Washallallahu
‘ala Nabiyyina Muhammad. Wal-hamdu lillah Rabbil-‘alamin. [3]
Wallahu'alam Bishshowab
Demikian sedikit tulisan yang Allah mudahkan bagi kami untuk menyusunnya, semoga bermanfaat bagi penulis dan juga segenap pembaca.
Barakallah ..... semoga bermanfaat
-----------------NB----------------
Saudaraku...!
Mari Kita tengadahkan tangan kita, memohon ampunan dan ridho Allah SWT. :
Yaa Allah... Kami Mengetuk Pintu LangitMu, dalam Kekhusyu'an do'a... Mengawali pagi ini dengan penuh harapan... Dengan sepenuh hati kami panjatkan harapan dan do'a.
Yaa Allah... Yaa Kaafii... Yaa Ghani.., Yaa Fattah... Yaa Razzaq... Jadikanlah hari ini Pembuka Pintu Rezki dan Keberkahan, Pintu Kebaikan dan Nikmat. Pintu kesabaran dan Kekuatan, Pintu Kesehatan dan Keselamatan, dan Pintu Syurga Bagiku, Keluargaku dan Saudara-Saudaraku semuanya.
Yaa Allah... panjangkanlah umur kami, sehatkanlah jasad kami, terangilah hati kami, tetapkanlah iman kami, baikkanlah amalan kami, luaskanlah rezeki kami, dekatkanlah kami pada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan, kabulkanlah segala kebutuhan kami dalam pada agama, dunia, dan akhirat. sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Yaa Allah... sehat afiatkan kami dalam kenikmatan Istiqomah dan umur yang bermanfaat. Angkatlah stiap penyakit diri kami dengan kesembuhan yang cepat... dgn tidak meninggalkan rasa sakit & kesedihan, Sungguh hanya Engkaulah yang maha menyembuhkan.
ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إنك أنت السميع العليم و تب علينا إنك أنت التواب الرحيم
آمين آمين آمين يا الله يا رب العالمين
وَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهْ
🙏🙏
Artikel Muslim.or.id
Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho
Edit: Ndik
#NgajiBareng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar