MEMBANGUN KOKOHNYA IMAN DAN AMAL
بِسْــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Saudaraku....!
Hari ini Kamis 20 Syafar 1447 H /14 Agustus 2025
Setelah Sholat Subuh sambil menunggu waktu pagi untuk beraktivitas, mari Kita NGOPI (Ngobrol Perkara Iman), Ungkapkan rasa Syukur Kita atas segala Nikmat yang Allah berikan, dengan memanfaatkan untuk memperbanyak Dzikir dan Sholawat sambil menikmati Santapan Rohani.
Tulisan ini hanya sekedar berbagi atau sharing dan tidak bermaksud Menggurui, bukan berarti yang menulis lebih baik dari yang menerima atau membaca. Namun demikian saya mengajak pada diri saya pribadi dan Saudara-saudaraku Seiman, untuk sama-sama belajar dalam Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Mohon ridho dan ikhlasnya, bila dalam penulisannya ada yang terlupakan tolong ditambahkan dan bila ada yang salah tolong dibetulkan.
Hadirin yang dirahmati Allah....
Sesungguhnya
iman dan amal saleh adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal saleh, maka
semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir
Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346)
Iman
dan amal saleh inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di
akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى
وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم
بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa
melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman,
maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan
benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS.
An-Nahl: 97)
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari
Allah Ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal saleh.
Yaitu, amalan yang mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah
Rasul-Nya. Apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan
hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini
adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan
memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di
akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.”
(Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 601)
Urgensi
amal
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya ilmu bisa
bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para
pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya
keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.”
(Lihat Al-Fawa’id, hal. 34)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ
“Tidaklah
Allah menyia-nyiakan amal kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan,
“Para ulama ahli tafsir tidak berselisih bahwa yang dimaksud iman di sini
adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan
salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid
wa Al-Iman, hal. 1142)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in,
ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri
dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak
dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il
At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145)
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan,
“Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka
dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian
dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan
akidah/keyakinan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa
Al-Iman, hal. 1145)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة
“Batas
antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.”
(HR. Muslim)
Dari
Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها
فقد كفر
“Perjanjian
antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia
telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu
Majah, dan Tirmidzi.
Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim
dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah
Al-Muyassarah, 1: 307)
Dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن
قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله
“Amalan
pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah
salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak,
maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath,
disahihkan Al-Albani)
Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak
melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat.”
(Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh
Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21)
Umat
Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara
sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di
sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih
berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamar. Dan pelakunya berhak
mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia
dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat
juga Kitab Ash-Shalah, karya Ibnul Qayyim rahimahullah,
hal. 5)
Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176)
Cakupan
iman dan pondasinya
Para
ulama menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud
ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan
adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain,
iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan
dan berkurang karena kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li
Syajaratil Iman, hal. 11)
Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Maka, iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah
semata-mata dengan akidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal
tanpa disertai akidah dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini harus ada dan
saling berkaitan satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad,
hal. 175)
Dalam
akidah Islam, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang
berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan
dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang.
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا
كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ
“Tidakkah
kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik
itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan
cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24)
Di
dalam ayat ini, Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang
pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka, iman pun demikian, ia
memiliki pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal.
297)
Di
antara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati,
dan amal anggota badan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ
لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ
“Iman
terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan
lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.
Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Kalimat lailahaillallah adalah
ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa
malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati. (Lihat Syarh
Manzhumah Ha’iyah, hal. 189)
An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian
iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas
setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang
iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Lihat Syarh
Muslim, 2: 88)
Syekh
Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini
merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan
ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang
menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar
rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama.
Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa
selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid
ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab
At-Tauhid, 1: 17)
Syekh
Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal
yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus
dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama
sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang
benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, bagaimana pun seorang
berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah, seperti:
bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada
orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya,
maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla,
وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ
فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا
‘Kami
teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami
jadikan ia laksana debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)”
(Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11)
Ibnul
Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka
amalkan”; yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna, “Kami jadikan
ia bagaikan debu yang beterbangan”; maka beliau menjelaskan, “Karena
sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.”
(Lihat Zadul Masir, hal. 1014)
Syekh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, apabila
seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik,
maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah.
Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat
syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan
menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat
ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan
salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya
lenyap…” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullah, hal. 11)
Syekh
Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut
dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada
Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada
selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak
tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang
menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.”
(Lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147)
Pokok
amal ibadah
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“… Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan
amalan/perbuatan, kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan
untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan
sesuatu, maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang
disenangi karena barangnya, seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang
mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu
dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah.
Sebab, seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya
ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada rohnya sama sekali…” (Lihat Al-Qaul
Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2: 3; cet. Maktabah Al-‘Ilmu)
Syekh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta,
maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan
pengagungan, maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan
kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya, maka kamu merasa takut kepada-Nya.
Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridaan-Nya.”
(Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad Al-Mustaqni’, 1: 9; cet. Mu’assasah
Asam)
Syekh
Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang
diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang
oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu.
Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya, maka dia belum beribadah
kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja
adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah
metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut
belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila
Shahih Al-I’tiqad, hal. 35; cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
Ibadah
itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan
ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab (sunah). Demikian
pula, larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu, ibadah
meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak
maupun yang tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10)
Hakikat
dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi
kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus
dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak
khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung
penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah, selain Allah. Oleh sebab itu,
di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat
keterangan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam
Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23)
_______________
Penulis: Ari
Wahyudi, S.Si.
Sumber: https://muslim.or.id
Demikian sedikit tulisan yang Allah mudahkan bagi kami untuk menyusunnya, semoga bermanfaat bagi penulis dan juga segenap pembaca.
Wallahu'alam Bishshowab
Barakallah ..... semoga bermanfaat
-----------------NB----------------
Saudaraku...!
Mari Kita tengadahkan tangan kita, memohon ampunan dan ridho Allah SWT. :
Yaa Allah... Kami Mengetuk Pintu LangitMu, dalam Kekhusyu'an do'a... Mengawali pagi ini dengan penuh harapan... Dengan sepenuh hati kami panjatkan harapan dan do'a.
Yaa Allah... Yaa Kaafii... Yaa Ghani.., Yaa Fattah... Yaa Razzaq... Jadikanlah hari ini Pembuka Pintu Rezki dan Keberkahan, Pintu Kebaikan dan Nikmat. Pintu kesabaran dan Kekuatan, Pintu Kesehatan dan Keselamatan, dan Pintu Syurga Bagiku, Keluargaku dan Saudara-Saudaraku semuanya.
Yaa Allah... panjangkanlah umur kami, sehatkanlah jasad kami, terangilah hati kami, tetapkanlah iman kami, baikkanlah amalan kami, luaskanlah rezeki kami, dekatkanlah kami pada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan, kabulkanlah segala kebutuhan kami dalam pada agama, dunia, dan akhirat. sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Yaa Allah... sehat afiatkan kami dalam kenikmatan Istiqomah dan umur yang bermanfaat. Angkatlah stiap penyakit diri kami dengan kesembuhan yang cepat... dgn tidak meninggalkan rasa sakit & kesedihan, Sungguh hanya Engkaulah yang maha menyembuhkan.
ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إنك أنت السميع العليم و تب علينا إنك أنت التواب الرحيم
آمين آمين آمين يا الله يا رب العالمين
وَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهْ
🙏🙏
Sumber: https://muslim.or.id
Edit: Ndik
#NgajiBareng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar