السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بِسْــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Saudaraku....!
Hari ini Senin 14 Jumadil-Akhir 1446 H / 16 Desember 2024
Setelah Sholat Subuh sambil menunggu waktu pagi untuk beraktivitas, mari Kita NGOPI (Ngobrol Perkara Iman), Ungkapkan rasa Syukur Kita atas segala Nikmat yang Allah berikan, dengan memanfaatkan untuk memperbanyak Dzikir dan Sholawat sambil menikmati Santapan Rohani.
Saudaraku...!
Tulisan ini hanya sekedar berbagi atau sharing dan tidak bermaksud Menggurui, bukan berarti yang menulis lebih baik dari yang menerima atau membaca. Namun demikian saya mengajak pada diri saya pribadi dan Saudara-saudaraku Seiman, untuk sama-sama belajar dalam Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Mohon ridho dan ikhlasnya, bila dalam penulisannya ada yang terlupakan tolong ditambahkan dan bila ada yang salah tolong dibetulkan.
Saudaraku...!
Karakter Pemimpin Islami
Karakteristik manusia yang mempunyai motivasi tinggi untuk menjadi pemimpin tampak dalam tingkah laku yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ibadah kepada Allah. Pemimpin merupakan suatu panggilan yang sangat mulia dan perintah dari Allah yang menempatkan dirinya sebagai makhluk pilihan sehingga tumbuh dalam dirinya kehati-hatian, menghargai waktu, hemat, produktif, dan memperlebar sifat kasih sayang sesama manusia.
Kelompok solidaritas sebagai dasar kehidupan yang dilandasi oleh iman dan akhlak mulia seperti yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, dapat memberikan kekuatan terhadap tatanan kerja sama kemanusiaan (ta'âwun al-ihsan).
Apabila teori tersebut dihubungkan dengan kegiatan kepemimpinan, maka akan dapat mendorong masyarakat untuk bersatu dan partisipatif aktif dalam proses pembangunan di seluruh sektor kehidupan.
Motivasi seseorang untuk mengambil bagian dalam suatu proses kepemipinan sangat beragam sama dengan motivasi seseorang untuk melaksanakan ibadah, seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya.
Keragaman motivasi atau latar belakang niat seseorang dalam bertindak adalah suatu hal yang tidak terelakan dan secara hukum tidak dipersalahkan. Sejarah menjelaskan kepada kita, ketika Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam berhijrah bersama para pengikutnya, beliau mengatakan bahwa motivasi dan keikutsertaan para pengikutnya itu beragam, ada yang bermotivkan kekayaan, dan ada juga karena dorongan wanita yang ingin dinikahinya. Semuanya itu dapat diterima, hanya saja kualitas partisipasi yang terbaik dan tertinggi dalam pandangan agama Islam adalah karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Hadis yang berbunyi : innama al-'amal bi al-niyyat dan seterusnya, membenarkan keragamaan motivasi tindakan. Oleh karena itu, masalah partisipasi masyarakat dalam perhelatan pemilihan pemimpin baik presiden, gubernur, bupati maupun wali kota pun demikian. Motivasi partisipasi itu harus diciptakan. Menurut Abdurrahman bin Abd Al Salam Al Syafi'i dalam kitab Nuzhat Al Majalis Wa Muntakhab Al Nafais bahwa motivasi seseorang untuk menjalankan kepemimpinan sama dengan melaksanakan ibadah selalu beragam. Minimal ada tiga motivasi utama : Motivasi Ekonomi, yaitu ingin mendapat ketidakseimbangan materi yang bernilai; Motivasi “Takut” motivasi yang sangat dikhawatirkan mendapat ancaman “Akhirat” dan ingin “Surga”; dan Motivasi Ikhlas motivasi yang berlandaskan atas landasan Iman Tauhid yang amat murni; lillahi ta'ala.
Karakter Yang Harus Dimiliki Dalam Sebuah Kepemimpinan :
Pertama, Shidiq (Jujur). Seorang pemimpin wajib berlaku jujur dalam melaksanakan pekerjaannya. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mengada-ngada fakta, tidak berkhianat, tidak pernah mengingkar janji dan sebagainya.
Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas dosa, jika biasa dilakukan, juga akan mewarnai dan berdampak negatif terhadap kehidupan pribadi dan keluarga pemimpin itu sendiri. Terlebih lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Dalam Al-Qur'an, keharusan bersikap jujur dalam memimpin, sudah dinyatakan dengan sangat jelas dan tegas. Dalam beberapa ayat, dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala : "Sempurnakanlah takaran dan timbang dengan adil." (QS Al An'aam : 152).
Dengan menyimak ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memperingatkan seluruh umat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan.
Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kondisi dalam perdagangan, namun tidak begitu terlihat kerugian dan kerusakan yang menimpanya pada manusia daripada tindak kejahatan yang lebih besar lagi seperti; perampasan, pencurian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan keadaan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan mengakibatkan cikal bakal dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar.
Jika perampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, sudah jelas merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan terang-terangan. Namun pelanggaran penyimpangan atau keadaan dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga para pemimpin yang melakukan keadaan tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, merampok dan perampas dan atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yaitu, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan.
Dengan demikian, tidak ada bedanya! Mereka sama-sama penjahat. Sehingga wajar, jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam Al-Qur'an, yang artinya : “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, permintaan mereka terpenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (QS. Al Muthaffifiin : 1 - 6)
Selain ancaman azab dan siksa di akhirat kelak, bagi orang-orang yang melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan kondisi dalam menakar, menimbang dan mengukur barang dagangan mereka, sesungguhnya Al-Qur'an juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah orang-orang Madyan yang terpaksa harus menerima siksa dunia dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala karena menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib Alaihi Sallam.
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi setelah Tuhan diperbaiki. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Al A'raaf : 85)
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam Ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah.
Kedua, Amanah (tanggung jawab). Setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan yang telah dipilihnya. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya. Dalam pandangan Islam, setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Pemimpin merupakan suatu tugas mulia, karena ditampilkan antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Ketiga, Jangan Menipu. Pemimpin hendaknya menghindari penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, keburukan dan keburukan perilaku polah manusia lainnya. Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak terjadi, maka akibatnya sangatlah fatal. Oleh karena itu, Rasulululah Shalallahu 'Alaihi Wasallam selalu memperingatkan kepada para pemimpin untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar terpilih, karena jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.
Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, proses demokrasi untuk mengahasilkan pemimpin dinodai dengan pelanggaran etika, bahkan nyaris, setiap orang –"Calon Pemimpin maupun Pemilih"– tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan yang haram, di mana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, sebagaimana dinyatakan dalam hadisnya. Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, bersabda : “Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.” (HR Bukhari)
Memang sangat memalukan, mengapa hal seperti ini harus terjadi? Sementara tidak hanya sekali saja Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam memberi peringatan kepada para pemimpinnya untuk berbuat jujur, tidak menipu dan tidak merugikan orang lain.
Keempat, Menepati Janji. Seorang pemimpin juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada rakyat terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Janji yang harus ditepati oleh para pemimpin. Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pemimpin umat Islam misalnya adalah shalatnya. serupa Firman Allah dalam Alquran : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan kedamaian Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan ketika mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka meninggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Dikatakan: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baiknya pemberi rezki” (QS Al Jumu'ah:10-11)
Dengan demikian, sesibuk-sibuknya pemerintahan yang sedang ditangani, sebagai pemimpin muslim, jangan sekali-kali meninggalkan shalat. Lantaran Allah Subhanahu Wa Ta'ala masih memberikan kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah shalat, yakni yang diwujudkan melalui perintah-Nya; bertebaranlah di muka bumi dengan mengingat Allah Subhanahu Wa Ta'ala supaya beruntung.
Kelima, Murah Hati. Dalam suatu hadis, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan agar para pemimpin selalu bermurah hati dalam melaksanakan pemerintahannya. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggung jawab. Sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam : “Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR Bukhari)
Keenam, Tidak Melupakan Akhirat. Kepemimpinan adalah perdagangan dunia, sedangkan menjalankan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama dibandingkan keuntungan dunia. Maka para pemimpin muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu Shalat, mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka berkolaborasi bersama-sama melaksanakan Shalat berjamaah, ketika adzan telah dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lainnya. Sekali-kali seorang pemimpin muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan pemerintahan.
Penutup
Pada bagian ini, sebagai pemimpin hendaknya kita selalu berupaya menyempurnakan keilmuan, berani mengambil berani dan mampu mengambil Ibrah dari keberhasilan serta kegagalan para pemimpin terdahulu. Jadilah pemimpin yang berangkat atas dasar Keilmuan dan Ketakwaan bukan atas dasar Nafsu dan Keserakahan.
Wallahu'alam Bishshowab
Barakallah ..... semoga bermanfaat
-----------------NB----------------
Saudaraku...!
Mari Kita tengadahkan tangan kita, memohon ampunan dan ridho Allah SWT. :
Yaa Allah... Kami Mengetuk Pintu LangitMu, dalam Kekhusyu'an do'a... Mengawali pagi ini dengan penuh harapan... Dengan sepenuh hati kami panjatkan harapan dan do'a.
Yaa Allah... Yaa Kaafii... Yaa Ghani.., Yaa Fattah... Yaa Razzaq... Jadikanlah hari ini Pembuka Pintu Rezki dan Keberkahan, Pintu Kebaikan dan Nikmat. Pintu kesabaran dan Kekuatan, Pintu Kesehatan dan Keselamatan, dan Pintu Syurga Bagiku, Keluargaku dan Saudara-Saudaraku semuanya.
Yaa Allah... panjangkanlah umur kami, sehatkanlah jasad kami, terangilah hati kami, tetapkanlah iman kami, baikkanlah amalan kami, luaskanlah rezeki kami, dekatkanlah kami pada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan, kabulkanlah segala kebutuhan kami dalam pada agama, dunia, dan akhirat. sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Yaa Allah... sehat afiatkan kami dalam kenikmatan Istiqomah dan umur yang bermanfaat. Angkatlah stiap penyakit diri kami dengan kesembuhan yang cepat... dgn tidak meninggalkan rasa sakit & kesedihan, Sungguh hanya Engkaulah yang maha menyembuhkan.
ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إنك أنت السميع العليم و تب علينا إنك أنت التواب الرحيم
آمين آمين آمين يا الله يا رب العالمين
وَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهْ
🙏🙏
Sumber : Aplikasi kumpulan tausiah Islam
Penulis : Abah Luki & Ndik
#NgajiBareng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar