MENYIKAPI PERGESERAN ARTI “SYIRIK” DAN “MUNAFIK” DI MASYARAKAT
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بِسْــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Saudaraku....!
Hari ini Kamis 16 Dzulhijah 1446 H /12 Juni 2025
Setelah Sholat Subuh sambil menunggu waktu pagi untuk beraktivitas, mari Kita NGOPI (Ngobrol Perkara Iman), Ungkapkan rasa Syukur Kita atas segala Nikmat yang Allah berikan, dengan memanfaatkan untuk memperbanyak Dzikir dan Sholawat sambil menikmati Santapan Rohani.
Saudaraku...!
Tulisan ini hanya sekedar berbagi atau sharing dan tidak bermaksud Menggurui, bukan berarti yang menulis lebih baik dari yang menerima atau membaca. Namun demikian saya mengajak pada diri saya pribadi dan Saudara-saudaraku Seiman, untuk sama-sama belajar dalam Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Mohon ridho dan ikhlasnya, bila dalam penulisannya ada yang terlupakan tolong ditambahkan dan bila ada yang salah tolong dibetulkan.
Hadirin yang dirahmati Allah....
Terkadang, ada pergeseran makna pada sebuah kata yang diserap ke dalam bahasa lain. Contoh, “panci” dalam bahasa Belanda adalah wajan, berbeda bentuknya dengan panci yang ditemui di negeri kita. Dalam bahasa Arab, kata “ziarah” memiliki arti kunjungan secara umum, sedangkan di negeri kita lebih identik dengan mengunjungi kuburan. Demikian pula dengan pergeseran makna kata “syirik” dan “munafik” yang tinjauannya akan diulas dalam tulisan ini, baik secara bahasa maupun syariat, serta diakhiri dengan jalan kita dalam menyikapinya.
Antara
syirik dan iri hati
Alhamdulillah,
sudah banyak yang memahami arti syirik sesuai dengan konteks ajaran Islam,
yaitu sikap menyekutukan Allah Ta’ala. Akan tetapi, masih dijumpai
sebagian kalangan yang memahami bahwa syirik memiliki arti iri hati. Terdapat
setidaknya tiga kemungkinan terkait alasan munculnya pemahaman ini, yaitu:
Pertama: menyamakan kata syirik dengan sirik.
Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), syirik berarti penyekutuan Allah dengan yang selain-Nya,
sedangkan sirik berarti iri hati atau dengki.
Kedua: terjadi proses penyerapan bahasa di
luar konteks syariat. Dalam bahasa Arab, katasyirik dapat bermakna penyekutuan
(isyrak) dan perbandingan (muqaranah). [1] Dengan
demikian, secara bahasa terdapat sisi kesamaan antara makna syirik dengan
dengki jika diartikan sebagai perasaan negatif yang timbul karena membandingkan
nikmat orang lain yang tidak ia dapatkan.
Ketiga: mengira bahwa syirik berarti dengki,
sedangkan syirik yang sebenarnya disebut dengan kata musyrik. Perlu
diketahui bahwa syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sedang musyrik
adalah pelaku dari perbuatan syirik.
Seluruh
kemungkinan di atas hanya mempertimbangan aspek kebahasaan saja. Adapun dalam
Islam, syirik didefinisikan sebagai sikap menyetarakan Allah dengan yang
selain-Nya dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah. [2] Contohnya
seperti meyakini bahwa ada yang dapat mengatur jagad raya selain Allah,
menjadikan sosok tertentu sebagai sesembahan selain Allah, atau meyakini bahwa
ada yang mampu melihat atau mendengar hal gaib seperti Allah, dan masih banyak
lagi.
Berdasarkan
pengertian tersebut, tentunya dengki tidak dapat dikatakan sebagai kesyirikan,
karena terdapat perbedaan antara keduanya. Syirik merupakan dosa terbesar yang
tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat hingga wafat, lain halnya dengan
dengki yang dalam syariat disebut sebagai hasad. Allah Ta’ala berfirman,
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ
بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain
(syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS.
An-Nisa: 48)
Hasad
(dengki) termasuk dosa besar. Banyak ulama yang memaknai hasad sebagai sikap
mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, jika sang pendengki tidak
mendapatkan nikmat tersebut. [3] Dengan demikian, dengki
merupakan dosa besar, namun bukan merupakan kesyirikan, sehingga para pendengki
apabila tidak bertobat hingga akhir hayat, nasibnya di akhirat kelak dapat
diampuni maupun tidak sesuai kehendak Allah Ta’ala.
Menyembunyikan
sisi buruk, pasti munafik?
Banyak
yang mengartikan munafik sebagai sikap bermuka dua, lain depan lain belakang.
Munafik dalam bahasa Arab berarti orang yang memiliki sifat nifaq.
Secara bahasa, nifaq adalah perbedaan antara yang tampak
dengan yang tersembunyi. [4] Secara istilah, nifaq berarti
sikap menampakkan diri di depan manusia bagai orang yang berada di atas
kebenaran, padahal ia menyembunyikan hakikat kebatilan dalam dirinya. [5] Sampai
di sini, masih terdapat kesesuaian antara pemahaman masyarakat dengan
penjelasan syariat.
Hanya
saja, perlu ditinjau kembali anggapan sebagian orang bahwa segala bentuk tindak
menyembunyikan sisi buruk adalah bentuk kemunafikan. Bagi mereka, tidak usah
malu berbuat dosa secara terang-terangan supaya tidak jadi munafik. Akhirnya,
mereka kerap menilai bahwa orang yang beramal saleh, bersikap baik pada orang
lain, dan tidak menampakkan dosa mereka sebagai orang sok baik dan munafik.
Menutupi
dosa dan tidak menampakkannya belum tentu termasuk kemunafikan, bahkan hal ini
diperintahkan oleh syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كل أمتي معافى إلا المجاهرين
“Setiap
umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosa
mereka.” [6]
Mungkin
ada yang bingung. Kita tidak boleh menampakkan dosa, tapi kalau disembunyikan
bukankah itu termasuk sikap bermuka dua? Baik di depan, namun jelek di
belakang. Jadi, sebenarnya kita harus apa?
Jawabannya,
tentu saja kita baik di depan maupun di belakang orang lain, tidak ada pilihan
lain. Memang benar bahwa setiap orang pasti punya dosa, namun coba kita bedakan
dua kondisi berikut:
Pertama: menyembunyikan dosa semata untuk
menjaga citra positif di depan orang lain
Kedua: menyembunyikan dosa disertai
penyesalan dan tobat kepada Allah.
Penyesalan
dan tobat inilah yang membedakan munafik dengan orang beriman yang tidak
mengumbar aibnya. Secara logis pun sebenarnya sangat gamblang. Orang yang
berbuat buruk, namun kemudian menyesal, bertobat, dan tetap berbuat baik di
hadapan orang lain, di mana sisi muka duanya? Benar bahwa ia pernah berbuat
salah, namun tidak ada perbedaan dalam hatinya baik ketika di depan orang lain
maupun ketika bersendirian, sehingga ia bukan orang munafik.
Orang
yang gemar mengajak orang-orang untuk mengumbar dosa di ranah publik dengan
alibi “daripada jadi munafik”, justru ialah yang dikhawatirkan tertimpa
kemunafikan. Di depan orang lain, mereka seakan peduli dan tidak ingin
orang lain menjadi munafik. Padahal, di dalam relung hatinya yang terdalam, ia
ingin bebas berbuat dosa tanpa teguran sosial, ingin dosanya tidak lagi
dianggap aib, ingin perbuatan buruknya dinormalisasi agar bisa dilakukan tanpa
beban di tengah masyarakat yang masih menyadari kebaikan nilai-nilai syariat.
Kembali
mengenal inti hidup
Menimbang
bahwa makna syirik dan munafik yang dipahami masyarakat di atas sudah diserap
ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita perlu menyesuaikan
konteks pembicaraan ketika menyebutkan dua kata ini. Untuk membedakan konteks,
tentunya perlu ilmu yang didapat melalui proses belajar agama. Kita perlu
meluangkan waktu untuk kembali memahami dasar-dasar agama, inti hidup ini.
Apakah selama ini kita mengenalnya melalui proses belajar yang runut dengan
niat mengamalkannya, ataukah selama ini kita belum benar-benar mengenal agama
ini, kecuali hanya mengalir saja di sela-sela urusan dunia kita, entah yang
kita pahami selama ini benar ataukah sebaliknya. Semoga Allah memberi taufik
kepada kita semua.
Demikian sedikit tulisan yang Allah mudahkan bagi kami untuk menyusunnya, semoga bermanfaat bagi penulis dan juga segenap pembaca.
Wallahu'alam Bishshowab
Barakallah ..... semoga bermanfaat
_______________________
Penulis: Reza Mahendra
Artikel Muslim.or.id
-----------------NB----------------
Saudaraku...!
Mari Kita tengadahkan tangan kita, memohon ampunan dan ridho Allah SWT. :
Yaa Allah... Kami Mengetuk Pintu LangitMu, dalam Kekhusyu'an do'a... Mengawali pagi ini dengan penuh harapan... Dengan sepenuh hati kami panjatkan harapan dan do'a.
Yaa Allah... Yaa Kaafii... Yaa Ghani.., Yaa Fattah... Yaa Razzaq... Jadikanlah hari ini Pembuka Pintu Rezki dan Keberkahan, Pintu Kebaikan dan Nikmat. Pintu kesabaran dan Kekuatan, Pintu Kesehatan dan Keselamatan, dan Pintu Syurga Bagiku, Keluargaku dan Saudara-Saudaraku semuanya.
Yaa Allah... panjangkanlah umur kami, sehatkanlah jasad kami, terangilah hati kami, tetapkanlah iman kami, baikkanlah amalan kami, luaskanlah rezeki kami, dekatkanlah kami pada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan, kabulkanlah segala kebutuhan kami dalam pada agama, dunia, dan akhirat. sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Yaa Allah... sehat afiatkan kami dalam kenikmatan Istiqomah dan umur yang bermanfaat. Angkatlah stiap penyakit diri kami dengan kesembuhan yang cepat... dgn tidak meninggalkan rasa sakit & kesedihan, Sungguh hanya Engkaulah yang maha menyembuhkan.
ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إنك أنت السميع العليم و تب علينا إنك أنت التواب الرحيم
آمين آمين آمين يا الله يا رب العالمين
وَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهْ
🙏🙏
Sumber : Artikel Muslim.or.id
Edit: Ndik
#NgajiBareng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar