Menu

Minggu, 06 April 2025

BAGIAN KEDUA

REKLAMASI PANTAI DAN PENGUASAAN LAUT MENURUT PANDANGAN ISLAM
(Bagian Kedua)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بِسْــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Saudaraku....!

Hari ini Senin, 8 Syawal  1446 H /7 April 2025

Setelah Sholat Subuh sambil menunggu waktu pagi untuk beraktivitas, mari Kita NGOPI (Ngobrol Perkara Iman), Ungkapkan rasa Syukur Kita atas segala Nikmat yang Allah berikan, dengan memanfaatkan untuk memperbanyak Dzikir dan Sholawat sambil menikmati Santapan Rohani.

Saudaraku...!

Tulisan ini hanya sekedar berbagi atau sharing dan tidak bermaksud Menggurui, bukan berarti yang menulis lebih baik dari yang menerima atau membaca. Namun demikian saya mengajak pada diri saya pribadi dan Saudara-saudaraku Seiman, untuk sama-sama belajar dalam Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Mohon ridho dan ikhlasnya, bila dalam penulisannya ada yang terlupakan tolong ditambahkan dan bila ada yang salah tolong dibetulkan.

Hadirin yang dirahmati Allah....

Kita hari kemarin Ahadm  8 Syawal  1446 H/7 April 2025 baru sampai pada Apa Itu Reklamasi?. Bagaimana kelanjutannya mari kita simak bersama.

2. Pandangan Islam Tentang Reklamasi

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa obyek reklamasi adalah kawasan berair. Sebagian besar reklamasi yang dilakukan adalah terhadap kawasan rawa-rawa, danau, kawasan pesisir dan laut. Point ini menjadi penting untuk melihat bagaimana pandangan Islam tentang reklamasi.

Dalam pandangan Islam, danau, kawasan pesisir, dan laut merupakan Harta Milik Umum Seluruh Rakyat Secara Berserikat. Harta milik umum itu dalam ketentuan syariah tidak boleh dikuasai atau dikuasakan kepada individu, kelompok individu atau korporasi. Menurut syariah, negara dengan pengaturan tertentu harus memberi kemungkinan kepada seluruh rakyat untuk bisa memanfaatkan atau mendapatkan manfaat dari harta milik umum. Negara juga harus mengelola langsung harta milik umum dan hasil pengelolaan itu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung atau dalam bentuk berbagai pelayanan.

Dilihat dari ketentuan syariah itu, maka praktik pengkaplingan reklamasi atau kawasan pesisir jelas tidak boleh. Sebab kawasan pesisir atau teluk adalah harta milik umum. Tidak boleh dikuasai atau dikuasakan atau diberikan konsesinya kepada individu, kelompok individu atau korporasi.

Sementara itu kawasan rawa-rawa (Batha'ih), menurut syariah merupakan bagian dari kepemilikan negara. Dalam hal ini, pengelolaannya diserahkan kepada Khalifah sesuai Ijtihad dan pandangannya yang disitu ada kemaslahatan bagi rakyat,. Terhadap milik negara, khalifah boleh memberikannya kepada individu rakyat. Hal itu berdasarkan riwayat dari Muhammad bin Ubaid Ats-Tsaqafi, ia berkata: “Seorang laki-laki penduduk Bashrah dipanggil Nafi’ Abu Abdillah meminta kepada Umar bin Khathab tanah di Bashrah yang bukan termasuk Tanah Kharaj dan tidak menyebabkan Dharar bagi seorangpun dari kaum Muslim untuk dia jadikan tempat menambatkan kuda. Maka Umar menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Jika memang seperti yang dia katakan, maka berikan kepadanya.”

Abu Ubaid juga meriwayatkan bahwa Utsman bin Affan memberi Utsman bin Abiy Al-‘Ash Ats-Tsaqafi tanah di Bashrah, berupa tanah berair atau rawa lalu Ustman bin Abiy Al-‘Ash mengeluarkannya (mengeringkan) dan menghidupkan tanah itu.

Dari situ, negara boleh saja memberikan tanah rawa atau semacamnya kepada individu, kelompok individu atau korporasi. Individu, kelompok individu atau korporasi yang diberi tanah rawa itu bisa saja kalau mereklamasinya dan menggunakannya atau mengelola dan mentasharrufnya sesuka dia. Hanya saja dalam memberikan tanah rawa atau semacamnya itu negara tetap harus memperhatikan banyak ketentuan syariah lainnya. Diantaranya adalah negara harus memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan kekayaan diantara rakyat (perhatikan QS Al-Hasyr ayat 7). Negara juga harus memperhatikan kemaslahatan dari berbagai aspek termasuk kemaslahatan keselamatan lingkungan.

Adapun reklamasi kawasan pesisir, laut dan perairan yang termasuk milik umum, maka jika reklamasi itu dilakukan oleh individu, kelompok individu atau korporasi untuk kepentingan individu, kelompok individu atau korporasi itu sendiri maka dalam Islam dilarang. Sebab harta milik umum haram dikuasai, dikuasakan atau diberikan konsesinya kepada individu, kelompok individu atau korporasi.

Adapun jika dilakukan sendiri oleh negara untuk kepentingan tertentu diantara kepentingan negara dan kemaslahatan masyarakat maka reklamasi untuk semacam itu secara syar’i dimungkinkan. Hal itu karena secara syar’i negara memiliki wewenang untuk memproteksi sesuatu dari harta milik umum untuk tujuan tertentu. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Ash-Sha’ab bin Jatsamah, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :

لاَ حِمَى إِلَّا لِلّٰهِ وَلِرَسُوْلِهِ

Artinya : “Tidak ada wewenang memproteksi kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya” (HR Abu Dawud)

Yakni untuk negara. Diriwayatkan pula dari Nafi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhu :

«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ حَمَى النَّقِيْعَ – وَهُوَ مَوِضِعٌ مَعْرُوْفٌ بِالْمَدِيْنَةِ – لِخَيْلِ الْمُسْلِمِيْنَ»

Artinya : “Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam memproteksi Naqi’ –tempat yang sudah dikenal di Madinah- untuk kuda-kuda kaum Muslim” (HR Abu Ubaid)

Abu Bakar juga memproteksi Az-Zabadzah untuk unta zakat. Ia mengangkat Maulanya yakni Abu Salamah untuk mengurusinya. Umar memproteksi Asy-Syarf dan Az-Zabadzah dan mengangkat Maulanya yang dipanggil Hunay untuk mengurusnya.

Harta milik umum yang diproteksi untuk tujuan atau kepentingan tertentu itu tidak boleh diubah menjadi milik individu, tetapi statusnya tetap milik umum. Dari sini maka negara boleh memproteksi sebagian kawasan pesisir atau laut untuk keperluan pelabuhan, konservasi, pasar umum, fasilitas publik, pertahanan, benteng dan sebagainya. Termasuk di dalamnya, negara boleh mereklamasi kawasan pesisir atau laut untuk tujuan atau keperluan tertentu yang untuk itu ditetapkan kebijakan proteksi atas sebagian harta milik umum itu.

Dalam melakukan itu, negara tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan syariah lainnya. Semisal, reklamasi itu tidak boleh membahayakan baik secara fisik, lingkungan maupun sosial. Itu artinya, kajian semacam kajian amdal juga hendaknya dilakukan dengan seksama dan dijadikan pertimbangan untuk melakukan reklamasi atau tidak. Hal itu berdasarkan hadits Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam :

«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»

Artinya : “Tidak ada Dharar (bahaya) dan tidak akan membahayakan –memudharatkan- (baik diri sendiri maupun oang lain).“ (HR Ibn Majah, Ahmad, Ad-Daraquthni)

Asy-Syawkani di dalam Nayl Al-Awthar setelah memaparkan hadits tersebut mengatakan, “hadits ini di dalamnya terdapat dalil pengharaman Adh-Dharar apapun sifatnya, tanpa ada perbedaan apakah terhadap tetangga atau yang lain, sehingga Adh-Dharar dalam bentuk apapun itu tidak boleh kecuali dengan dalil yang mengkhususkan keumuman ini”.

Dengan demikian, reklamasi kawasan pesisir atau laut jika dilakukan oleh individu, kelompok individu atau korporasi untuk kepentingan individu, kelompok individu atau korporasi itu sendiri maka Islam dengan tegas melarangnya. Negara dilarang memberikan kuasa, memberikan konsesi atau memberikan izin kepada individu, kelompok individu atau korporasi untuk melakukan itu.

Adapun reklamasi atas kawasan pesisir atau laut atau kawasan perairan milik umum oleh negara untuk tujuan atau keperluan tertentu yang termasuk kepentingan negara dan atau kepentingan dan kemaslahatan rakyat maka reklamasi itu boleh dilakukan. Namun dalam melakukan itu tetap negara harus memperhatikan ketentuan-ketentuan syariah terkait, termasuk tidak boleh membahayakan.

Sementara reklamasi kawasan perairan milik negara seperti kawasan rawa-rawa jelas boleh dilakukan oleh negara secara langsung. Lahan hasil reklamasi bisa dibagikan yakni diberikan oleh negara kepada rakyat. Hal itu seperti yang dilakukan pada masa Umar bin Khathab dengan mengeringkan daerah rawa-rawa di Irak lalu dibagikan kepada rakyat yang bisa menghidupkannya. Hal serupa pernah juga dilakukan oleh negara dan atau pemerintah di negara kita pada masa pemerintahan presiden Soeharto, dengan mereklamasi rawa menjadi lahan gambut atau dikenal dengan Sejuta Lahan Gambut yang dibagikan kepada rakyatnya.

3. Penguasaan Laut Menurut Pandangan Islam

Penguasaan Laut dengan cara melakukan Pemagaran Ruang Laut yang dilakukan tanpa izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan pelanggaran.

Kegiatan yang dilakukan tanpa izin KKPRL, dapat memberikan kekuasaan penuh kepada pihak yang berkepentingan untuk menguasai wilayah laut tersebut. Akibatnya, akses publik menjadi terbatas, privatisasi ruang laut semakin marak, dan kerusakan terhadap keanekaragaman hayati pun tak terhindarkan.

Terkait hal tersebut, Al-Quran sudah mengingatkan tentang kerusakan di laut. Yakni di dalam Surat Ar Ruum ayat 41 :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Artinya : "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (QS. Ar Ruum : 41)

Dalam Tafsir Ringkas Kemenag, bila pada ayat-ayat sebelumnya Allah menjelaskan sifat buruk orang musyrik Mekah yang menTuhankan hawa nafsu, melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa kerusakan di bumi adalah akibat mempertuhankan Hawa Nafsu. Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, baik kota maupun desa, disebabkan karena ulah tangan manusia yang dikendalikan oleh Hawa Nafsu dan jauh dari tuntunan fitrah.

Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari hasil perbuatan buruk mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar dengan menjaga perilakunya dengan fitrahnya.

Sementara dalam Tafsir Tahlili disebutkan, dalam ayat ini dijelaskan bahwa telah terjadi Al-Fasad di daratan dan lautan. Al-Fasad adalah segala bentuk pelanggaran sistem atas hukum yang diciptakan Allah, yang diterjemahkan dengan “Perusakan”. Perusakan itu bisa berupa pencemaran alam sehingga tidak layak lagi didiami, atau bahkan membongkar alam sehingga tidak bisa lagi dimanfaatkan. Di daratan, misalnya hancurnya flora dan fauna, dan di laut seperti Pemagaran Ruang Laut, rusaknya biota laut. Juga termasuk Al-Fasad adalah memalukan, perompakan, pembunuhan, pemberontakan, dan sebagainya.

Perusakan itu terjadi akibat prilaku manusia, misalnya eksploitasi alam yang berlebihan, peperangan, percobaan senjata, dan sebagainya. Prilaku itu tidak mungkin dilakukan orang yang beriman dengan keimanan yang sesungguhnya karena ia tahu bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan nanti di hadapan Allah.

Dalam ayat ini Allah berfirman bahwa tidak seluruh akibat buruk perusakan alam yang dirasakan oleh manusia, tetapi sebagian saja. Sebagian akibat buruk lainnya telah diatasi oleh Allah, di antaranya dengan menyediakan sistem dalam alam yang dapat menetralisir atau memulihkan kerusakan alam. Hal ini berarti bahwa Allah sayang kepada manusia.

Seandainya Allah tidak sayang kepada manusia, dan tidak menyediakan sistem alam untuk memulihkan kerusakannya, maka pastilah manusia akan merasakan seluruh akibat perbuatan jahatnya. Seluruh alam ini akan rusak dan manusia tidak akan bisa lagi menghuni dan memanfaatkannya, sehingga mereka pun akan hancur.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوْا مَا تَرَكَ عَلٰى ظَهْرِهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِعِبَادِهٖ بَصِيْرًا

Artinya : "Dan sekiranya Allah menghukum manusia atas apa yang telah mereka lakukan, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)-nya, sampai waktu yang telah ditentukan. Nanti ketika ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. (QS. Faṭir : 45)

Dengan penimpaan kepada mereka sebagian akibat perusakan alam yang mereka lakukan, Allah berharap manusia akan sadar. Mereka tidak lagi merusak alam, tetapi memeliharanya. Mereka tidak lagi merusak ekosistem yang diciptakan Allah, tetapi mematuhinya. Mereka juga tidak lagi mengingkari dan menyekutukan Allah, tetapi mengimani-Nya. Memang kemusyrikan itu suatu perbuatan dosa yang luar biasa besarnya dan hebat dampaknya sehingga sulit sekali dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. Bahkan sulit dipanggul oleh alam, sebagaimana dinyatakan firman-Nya :

تَكَادُ السَّمٰوٰتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْاَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا

Artinya : "Hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu). (QS. Maryam : 90)

Seluruh langit dan bumi adalah satu sistem yang bersatu di bawah perintah Allah. Seperti disebutkan dalam Al-Qur'an bahwa semua yang ada dalam sistem ini diberikan untuk kepentingan kehidupan manusia, yang dilanjutkan dengan suatu peringatan spiritual untuk tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.

Saudaraku...!

Sebagai khalifah, manusia harus mengikuti dan mematuhi semua hukum Allah, termasuk tidak melakukan kerusakan terhadap sumber daya alam yang ada. Mereka juga harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan di bumi ini. Bumi ditundukkan Allah untuk menjadi tempat ke-diaman manusia. Akan tetapi, alih-alih bersyukur, manusia malah menjadi makhluk yang paling banyak merusak keseimbangan alam. Contoh yang merupakan peristiwa-peristiwa alam yang terjadi di tanah air karena ulah manusia adalah kebakaran hutan dan banjir.

Dengan ditunjuknya manusia sebagai khalifah, di samping memperoleh hak untuk menggunakan apa yang ada di bumi, mereka juga memikul tanggung jawab yang berat dalam mengelolanya. Dari sini terlihat pandangan Islam bahwa bumi memang diperuntukkan bagi manusia. Namun demikian, manusia tidak boleh memperlakukan bumi semaunya sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh kata-kata bumi (453 kali) yang lebih banyak disebutkan dalam Al-Quran daripada langit atau surga (320 kali). Hal ini memberi kesan kuat tentang kebaikan dan kesucian bumi. Debu dapat menggantikan udara dalam bersuci. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :

جُعِلَتْ لِى اْلَاَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا (رواه أبو داود و ابن ماجة عن أبي هريرة)

Artinya : "Bumi diciptakan untukku sebagai masjid dan sebagai alat untuk bersuci. (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Ada semacam kesakralan dan kesucian dari bumi, sehingga merupakan tempat yang baik untuk memuja Tuhan, baik dalam upacara formal maupun dalam perikehidupan sehari-hari.

Islam secara sistemik dengan penerapan hukum syariah mengenai kepemilikan dapat mencegah terjadinya polemik Penguasaan Laut dan atau Pemagaran Laut yang viral di beberapa daerah di Indonesia.

Menurut Pakar Fikih Kontemporer KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi dalam Fokus : Pagar Laut, Bukti Oligarki Cengkram Negeri, di kanal YouTube UIY Official.

Menurutnya, dengan mengutip kitab Nidzam Iqtishadi Fil Islam karya Syekh Taqiyudin An-Nabhani bahwa dalam Islam dari segi karakter benda atau sifat benda yang seharusnya menjadi milik umum, tidak bisa dipaksakan dimiliki Individu atau Kelompok Individu atau Korporasi, karena nantinya akan menimbulkan konflik, misal, kepemilikan sungai, laut, teluk ataupun danau.

“Ketika nanti dimiliki oleh Perorangan (Individu) atau Kelompok Individu atau Korporasi, terjadi kemudaratan, di antaranya akan terjadi Penguasaan Milik Umum oleh pribadi, nanti pribadi yang mempunyai milik umum akan mendapatkan pendapatan atau uang yang besar dari kepemilikannya dan akan berakhir dengan ke ketimpangan pendapatan."

“Di dalam Islam, di dalam Surah Al-Hasr ayat 7, jelas dinyatakan bahwa harta itu tidak boleh beredar hanya di kalangan orang-orang kaya saja di antara kamu, di dalam pandangan Islam, harta yang itu memang secara tabiat bendanya harus menjadi milik umum tidak bisa dipaksakan menjadi milik Individu atau Kelompok Individu atau Korporasi."

Demikian sedikit tulisan yang Allah mudahkan bagi kami untuk menyusunnya, semoga bermanfaat bagi penulis dan juga segenap pembaca. (Tamat)

Demikian sedikit tulisan yang Allah mudahkan bagi kami untuk menyusunnya, semoga bermanfaat bagi penulis dan juga segenap pembaca.

Wallahu'alam Bishshowab
Barakallah ..... semoga bermanfaat

-----------------NB----------------

Saudaraku...!

Mari Kita tengadahkan tangan kita, memohon ampunan dan ridho Allah SWT. :

Yaa Allah... Kami Mengetuk Pintu LangitMu, dalam Kekhusyu'an do'a... Mengawali pagi ini dengan penuh harapan... Dengan sepenuh hati kami panjatkan harapan dan do'a.

Yaa Allah... Yaa Kaafii... Yaa  Ghani.., Yaa Fattah... Yaa Razzaq... Jadikanlah hari ini Pembuka Pintu Rezki dan Keberkahan, Pintu Kebaikan dan Nikmat. Pintu kesabaran dan Kekuatan, Pintu Kesehatan dan Keselamatan, dan Pintu Syurga Bagiku, Keluargaku dan Saudara-Saudaraku semuanya.

Yaa Allah... panjangkanlah umur kami, sehatkanlah jasad kami, terangilah hati kami, tetapkanlah iman kami, baikkanlah amalan kami, luaskanlah rezeki kami, dekatkanlah kami pada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan, kabulkanlah segala kebutuhan kami dalam pada agama, dunia, dan akhirat. sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. 

Yaa Allah... sehat afiatkan kami dalam kenikmatan Istiqomah dan umur yang bermanfaat. Angkatlah stiap penyakit diri kami dengan kesembuhan yang cepat... dgn tidak meninggalkan rasa sakit &  kesedihan, Sungguh hanya Engkaulah yang maha menyembuhkan.

Yaa Allah... Yaa Robbana...! Ijabahkanlah Do'a-do'a kami, Tiada daya dan upaya kecuali dengan Pertolongan-MU, karena hanya kepada-MU lah tempat Kami bergantung dan tempat Kami memohon Pertolongan.

ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إنك أنت السميع العليم و تب علينا إنك أنت التواب الرحيم

آمين آمين آمين يا الله يا رب العالمين

وَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهْ

🙏🙏

Penulis : Ahmad Anshori, Lc.
Artikel : Muslim.or.id

#NgajiBareng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar